Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2021

Bagaimana cara jatuh cinta tanpa mengingatmu lagi?

Bulir air mengular mencari ruang untuk mengalir ke tempat yang lebih rendah, menyisakan permukaan keramik yang berulir tanpa genangan. Selanjutnya kusiram lagi lantai keramik di hadapanku, sembari berjongkok dan bertopang dagu. Mencari bentuk-bentuk wajah, benda, pola, apapun itu, yang terbentuk dari sisa-sisa guyuran air, bercak dan debu di tembok, juga bayang lampu yang sekali-kali berkedip karena usia. Meski begitu, pikiranku tak ada disana. Meski tepat di depanku ubin kamar mandi, kedua mataku menampilkan semua hal yang belum usai. Dengan dia salah satunya. Dan waktu-waktu sewaktu masih menjadi kami.  Dan semua hal yang berganti. Kosong meski diisi, sesak meski dikasihi. Mengapa tak kunjung selesai. Mengapa juga tak hilang-hilang. Aku terus berada dalam bayang-bayang. Meski sinar matahari yang begitu hangat telah datang, juga hal-hal manis yang menyenangkan.  Telah lama aku berhenti menyalahkan. Turut senang pada setiap kabar baik yang dibagikan. Tapi seperti ditimpa batu ...

Marlboro dan Surya 12

Dua puluh lima tusuk sate, telah habis sudah. Begitu pula dengan dua piring dengan nasi yang jemblung . Sementara dua gelas teh tawar panas yang sudah bersuhu ruangan, masih kami teguk irit-irit. Sebab masing-masingnya belum ingin beranjak pergi. Rintik-rintik seperti deras di atas atap seng, bulirnya menetes di bagian tepi. Garis halus kasat mata di bagian lampu penerangan. Deras kembali mengguyur pinggir kota. “Gimana kabar mamah?” Aku mendongak dan tersenyum tipis. Sifat terus terangnya masih sama, rupanya. “Selama paket shopee masih dateng ke rumah sih tandanya mamah baik-baik aja,” Kami sama-sama terkekeh sebelum kembali sibuk memikirkan topik selanjutnya. “Jadi, kamu kenapa? Masalah kuliah?” Tak ada ruang untuk basa basi, ternyata. Aku menunduk memainkan tusuk sate, lalu meneguk sedikit teh tawar yang sepet seperti hidupku.  “Bukan. Mungkin. Ngga tau aku.” Tapi sejujurnya, aku memang tak tahu pasti. Semua hal terjadi tiba-tiba, bersamaan, membuatku pening dan gusar, tanpa pan...

Menyenangkan

"Ta!" Aku menoleh setelah melepas helm dan menempatkannya pada salah satu kaca spion yang lebih tinggi. "Kata abangnya, baru ready 15 menit lagi, is it okay?" Langkah besarnya menghampiriku. Ia berdiri dan menjulang. Satu dari sekian hal kecil yang menyenangkan. "Alright then. Mau beli jajan dulu ngga, Ki?" Ia mengangguk, lalu kami beriringan mencari telur gulung. Hawa di alun-alun kota terasa dingin meski tak menusuk. Hujan baru saja reda, aroma aspal yang dibasahi rintiknya, masih menguar di udara. Satu lagi dari sekian hal kecil yang kusukai. Sepanjang perjalanan mencari jajan, aku bercerita padanya tentang seorang teman yang menyebalkan, tentang aku yang sering meninggalkan barang, tentang tumpukan tugas yang menurutnya tak perlu dipikirkan, juga tentang telur rebus dan telur dadar. Sampai ketika kami kembali ke tempat pertama, dan menunggu abang ronde menyiapkan pesanan, aku masih berdongeng ria, sementara ia tersenyum, terpingkal, atau terdiam menden...

Yang sama dan berbeda

‘Ta, taichan yuk?’ Kupandangi layar ponsel cukup lama, menimang pilihan-pilihan yang beradu di kepala.  Ah, sudahlah. Ini tak kan jadi lebih dari biasa. Begitu dalihku sembari bersolek. Mengoles rona merekah dengan tetap menjaga sederhananya. Mengambil blouse merah muda sebelum menggantinya dengan busana berwarna serba gulita yang terlihat selaras dengan warna khaki pada tas selempang jua sandal pergi yang hendak kubawa.  Urung niatku menata gerai hitam keabuan di atas kepala, dibiarkan olehku jatuh bergelung di tepi bahu. Lantas lirih aku mendengu atas mudahnya dikalahi antusiasme yang tak ada gunanya. Lalu berjalanlah aku segera ke luar pagar rumah. Kemudian melirik arloji, mengintip waktu, menyerana. Ah, sedang apa, coba?  Batin sesal yang menghampiri dan menggangguku, atas niat yang nampak terpampang lebih dari seharusnya. Ah, sudahlah. Ini tak kan jadi lebih dari biasa, aku rapal kembali seperti mantra. Lebih dari sejenak waktu berlalu, sampailah ia. Mengenakan sweat...

Malam jangan berlalu

Aku tak hafal apa saja nama jalan yang aku dan kamu lalui waktu itu. Aku ingat itu jalan layang, begitu panjang dan lengang. Membentang langit nan gelap keabuan tanpa bintang, gemerlapnya dicuri bangunan-bangunan tinggi di tengah kota. Aku tak lagi ingat lagu siapa yang mengalun lembut memecah deru mesin dan pendingin ruangan dalam ruang bergerak itu. Namun liriknya menelisik masuk dalam relungku tanpa permisi, menjejak rengkah di atas patah. Tapi aku dan kamu sama-sama mengerti. Bahkan bila terucap hanya dalam benak masing-masing.  Malam jangan berlalu, malam jangan berlalu, dan semakin habislah waktu. Namun aku dan kamu sama-sama mengerti. ....atau tidak?

Si Manis

Perempuan itu sungguh paham bagaimana bersikap manis.   Lihatlah bagaimana rasa seolah ingin tahu memenuhi dua bola mata yang memandang tabik lawan bicara di hadapannya. Ia mengerti kapan waktu yang tepat untuk memberi jawab, atau sehalus mengerutkan kening dan bergumam paham. Demikian ia mencermati tiap kata. Membalas lebih dari seperlunya. Menjaga senyum dan kepolosannya. Membuka jalan yang tak pernah ada.  Ahli betul ia dalam bidangnya, ahli ia mencipta ilusi damba. Kiranya, bermain menyembuhkan luka.  Rupa-rupanya, semakin dalam lubang itu menganga.  Ia telah kehilangan nyawa. 

Sehat selalu, ayah

‘ Yah, ayo, aku telat, nih!’ Kala itu aku belum punya arloji, tapi tenda nasi uduk Bu Haji yang mulai sepi pengunjung mampu menjadi penanda waktu yang telah beranjak, paling tidak berkisar setengah 8 pagi. Kurang dari itu, pasti masih banyak ibu-ibu yang antri demi nasi uduk atau lontong sayur untuk bekal putra-putrinya. Lebih pagi lagi, waktunya bapak-bapak ronda yang bertukar berita dengan bapak-bapak dari masjid selepas subuh, ditemani secangkir teh panas dengan pisang dan bakwan goreng yang baru masak. ‘Yah, ayo!’ Seru ku lagi, mendapati kecepatan motor yang konstan. Bayang-bayang berdiri di tengah lapangan upacara sampai jam istirahat, menumbuhkan niatku untuk kembali pulang dan menulis surat izin sakit kepada wali kelas. ‘Oke, Nak, pegangan ya!’ Seketika, ayah merendahkan tubuhnya, seolah bersiap menjadi seorang pembalap profesional. Sebelah tanganku pun segera memeluk erat pinggang ayah yang lebar nan empuk seperti ban berenang, sedang sebelah lainnya menahan topi merah putih di...
Si bodoh ini, barangkali si  lebih dari  bodoh ini,  Tak jera-jera rupanya mengadu peruntungan walau buntu tepat dipandang mata, tak sudah-sudah memupuk omong kosong juga harapan sia-sia, tak bosan-bosan menjadi dungu dalam urusan jatuh cinta.

Kukuh

Bagian tepi bawah gamisnya basah, gamis bernada nila itu terpecik kubangan-kubangan yang terhempas tapak kakinya. Di bawah naung langit tunggang gunung, punggungnya melengkung. Dengan teguh ia mendorong gerobaknya walau seluruh tubuh remuk redam bermandi peluh. Seperti hari-hari sebelumnya, gerobak kuning pucat berjudul ‘mie ayam’ itu telah tertutup sempurna, ketika kembali melewati jalan di samping tempatku bekerja, menyusuri bahu Jl. Borobudur, barangkali hingga Jl. Soekarno Hatta. Beliau sudah tak lagi memukul bagian atap gerobaknya yang sedikit menjorok. Berhenti pula ia mengadu kayu dalam ketukan, tiada kembali menarik perhatian para empunya lebih lembar-lembar rupiah. Barangkali jam segini adalah waktunya untuk menjemput putrinya dari sekolah mengaji. Baginya, biarlah terseok-seok langkahnya karena tungkai yang mati rasa. Biarlah berkunang-kunang penglihatannya karena dihantam asap kuali juga penghuni jalan raya. Biarlah, baginya, terbungkuk-bungkuk melayani canda semesta.  S...

Mari

Terhitung hari ini, aku pergi.   Menuju arah yang berlawanan, aku mulai mampu berjalan.  Sekali-kali menengok ke belakang, sekali-kali berandai melihatmu kembali pulang.  Tapi aku bukan rumahmu. Maka terhitung hari ini, aku bertolak diri. Menyingkir dari meja judi, memungkiri pikirku sendiri. Tiada kutolehkan lagi kepala,  Mari tidak lagi berjumpa.

Si Puan Kelana

Itu dia, Si Puan Kelana. Pelari ulung yang tak mengindahkan luka pada tumitnya, bukan gagah berani, lari dia dari gemulai kengerian yang membayangi. Itu dia, Si Puan Kelana. Penyelam nomor satu, yang berkawan erat dengan asrar para penghuni laut paling dalam. Menjadi ahli ia menahan nafasnya, habis pun tiada acuh kiranya. Itu dia, Si Puan Kelana. Pengembara dalam dunia yang melewati interpretasimu tentang indah sekaligus keji.  Benar itu, Si Puan Kelana.  Nyawanya terhuyung-huyung, tak jejak. Beratma sudah ia lupa, demikian lama berdiri di atas kaki rapuhnya sendiri. Menugasi hidupnya menabur bunga, telapaknya berdarah-darah di atas ladang duri.  Bertanyalah seorang peduli, ‘sampai kapan hendaknya kamu seperti ini?’ Si Puan Kelana termenung. ‘Sampai aku tidak lagi seperti ini.’

Angin

Desing angin di alam bebas tak pernah sebegitu syahdu—setidaknya menurut masyarakat desa setempat yang kesehariannya berlatar iringan dengus arus udara sejak subuh hingga waktunya badan berpulang penuh peluh. Berbanding terbalik halnya denganku, ketika satu-satunya keistimewaan hawa dingin di hampir dua puluh satu hidupku di muka bumi, datang dari daun kipas angin kuningan yang berputar uzur sejak setengah abad yang lalu. Kipas angin lawas yang diturunkan almarhum Eyang Kung dari bapak, yang dengan ajaibnya masih mampu bergerak, tidak dengan baik, tetapi bergerak. Memainkan suara latar bak kodok malam yang terhimpit batu kali, lalu diambang mati sebab seekor garter dengan manis datang menghampiri. Kembali lagi, desing angin di alam bebas bak belati yang menebas ruang pendengaranku. Memang tidak sedemikian kuat untuk mampu memporak-poranda tanaman kubis yang hendak panen di bawah sana, namun cukup untuk menyapa sisa gugur-gugur daun tropika hingga mereka balas melambai di ketinggian ...

Kembara

Setiap kali dalam perjalanan, aku selalu berangan-angan. Bagaimana ya, rasanya, menjadi puan kelana yang menutup mata pada arah, mengembara dalam belantara antah berantah, mengenal setiap jengkal sudut kota yang belum dijamah. Berhenti di tengah laju kendara, misalnya. Lantas beralih pada persimpangan yang berbeda, atau berjalan pada haluan sebaliknya.  Pun laksana menuntun sepeda motorku menuju tepi jalan penghubung yang membelah wana, lalu bersembunyi di balik pohon-pohon tua yang menjulang raksasa, sampai-sampai dilahap kabut tak berkesudahan yang menyelimutinya. Mungkin juga seperti turut melebur dalam tiap debur ombak yang bergelung. Meniru asingnya pantai terselubung.  Pula sebagaimana menurunkan diri di stasiun sesuka hati. Membaur di antara manusia sibuk sendiri yang baru kutemui. Mengamini kemana pun tungkai ini membawa tubuhku pergi. Rasanya, aku hanya ingin melanglang buana, berkelana, walau buta bahasa, tanpa tuju, tanpa terpaut waktu, hanya aku dan langkah bersepa...