Desing angin di alam bebas tak pernah sebegitu syahdu—setidaknya menurut masyarakat desa setempat yang kesehariannya berlatar iringan dengus arus udara sejak subuh hingga waktunya badan berpulang penuh peluh. Berbanding terbalik halnya denganku, ketika satu-satunya keistimewaan hawa dingin di hampir dua puluh satu hidupku di muka bumi, datang dari daun kipas angin kuningan yang berputar uzur sejak setengah abad yang lalu. Kipas angin lawas yang diturunkan almarhum Eyang Kung dari bapak, yang dengan ajaibnya masih mampu bergerak, tidak dengan baik, tetapi bergerak. Memainkan suara latar bak kodok malam yang terhimpit batu kali, lalu diambang mati sebab seekor garter dengan manis datang menghampiri.
Kembali lagi, desing angin di alam bebas bak belati yang menebas ruang pendengaranku. Memang tidak sedemikian kuat untuk mampu memporak-poranda tanaman kubis yang hendak panen di bawah sana, namun cukup untuk menyapa sisa gugur-gugur daun tropika hingga mereka balas melambai di ketinggian satu-dua inci di atas tanah.
Bicara tentang hijau lahan tanaman kubis di sepanjang mata memandang, serta keindahan lika-liku perkebunan di atas perbukitan, seluruh netra dan indera dengarku bermanja pada tembang burung-burung di antara gemerisik dedaunan, dan atas izin Tuhan, alam seolah mendaulatku untuk menjadi penyair kenamaan. Kan, lihat saja tulisanku yang mulai berima-n.
Sekali lagi, desing angin di alam bebas membawa teduh yang kucari. Di tengah terik sang surya yang terhalang selimut kabut, semakin khidmat kedua mataku menutup, berusaha mengalihkan isi kepala juga relung di dalam dada yang berkecamuk.
Aku selalu berakhir berlari, dari semua hal yang dan akan terjadi. Seperti para penjahat berdasi yang kabur ke luar negeri dan kembali jika kasusnya telah terkubur ilusi. Aku sama seperti anak kecil yang memilih bersembunyi sampai permainan petak umpet telah usai, yang takut pada kemungkinan menjadi penjaga dan kalah karena tak pandai mencari. Aku selalu memilih berhenti, jauh sebelum segala bentuk masalah duniawi datang memperkenalkan diri. Pun di hadapan setiap anak sungai kehidupan, aku terlalu takut mengarungi.
Sebagaimana saat ini kedua tungkaiku menjejakkan kaki di atas ilalang liar yang tumbuh di celah setapak penuh debu tanah dan kerikil, alih-alih pada lantai keramik gerai-gerai pakaian nan cantik di Tunjungan Plaza, atau kedai kopi aesthetic yang juga ada di Tunjungan Plaza (disana betul-betul serba ada). Kali ini, hendaknya aku menjauh dari hiruk pikuk metropolis. Sejenak mengambil cuti dengan dalih rehat, walau sebenar-benarnya telah karam.
Benar, berawal dari salahku yang setuju melanjutkan perjalanan. Menyelam dalam-dalam, sekali pun menyadari bahwa palung tak berujung telah menanti kebodohanku dengan sabar. Sudahlah jatuh di lubang yang sama, dengan luka yang lebih-lebih menganga.
Dan untuk terakhir kalinya, sampailah desing angin di alam bebas diinterupsi oleh senandung dari seorang pemuda bertopi tani, yang megap-megap berusaha mengikuti lirik lagu You Give Love a Bad Name–nya Bon Jovi dari aplikasi streaming berlogo merah di gawainya. Wah, hebat juga. Bahkan sebelah tanganku pun memadai untuk menghitung sebaya yang hafal satu album greatest hits classic rock 80-90-an, di lingkup sosialku yang terbatas. Dulu. Sebelum mulai kupertimbangkan untuk berpaling aliran. Heavy metal, mungkin? Tentu sempurna sebagai alasanku memaki dan menjerit, terlepas dari liriknya yang memang seperti itu, dan perasaan ganjil yang tertinggal setiap playlist classic kami mulai mengalun.
Ah, padahal hatiku yang patah. Tapi
selera musik sampai tujuanku berkelana pun ikut berubah.
Komentar
Posting Komentar