Setiap kali dalam perjalanan, aku selalu berangan-angan.
Bagaimana ya, rasanya, menjadi puan kelana yang menutup mata pada arah, mengembara dalam belantara antah berantah, mengenal setiap jengkal sudut kota yang belum dijamah.
Berhenti di tengah laju kendara, misalnya. Lantas beralih pada persimpangan yang berbeda, atau berjalan pada haluan sebaliknya.
Pun laksana menuntun sepeda motorku menuju tepi jalan penghubung yang membelah wana, lalu bersembunyi di balik pohon-pohon tua yang menjulang raksasa, sampai-sampai dilahap kabut tak berkesudahan yang menyelimutinya.
Mungkin juga seperti turut melebur dalam tiap debur ombak yang bergelung. Meniru asingnya pantai terselubung.
Pula sebagaimana menurunkan diri di stasiun sesuka hati. Membaur di antara manusia sibuk sendiri yang baru kutemui. Mengamini kemana pun tungkai ini membawa tubuhku pergi.
Rasanya, aku hanya ingin melanglang buana, berkelana, walau buta bahasa, tanpa tuju, tanpa terpaut waktu, hanya aku dan langkah bersepatu.
Bak hilang begitu saja ditelan bumi, seolah adalah hajatku untuk tidak kembali.
— akhir 2020, dengan revisi.
Komentar
Posting Komentar