Bulir air mengular mencari ruang untuk mengalir ke tempat yang lebih rendah, menyisakan permukaan keramik yang berulir tanpa genangan.
Selanjutnya kusiram lagi lantai keramik di hadapanku, sembari berjongkok dan bertopang dagu. Mencari bentuk-bentuk wajah, benda, pola, apapun itu, yang terbentuk dari sisa-sisa guyuran air, bercak dan debu di tembok, juga bayang lampu yang sekali-kali berkedip karena usia.
Meski begitu, pikiranku tak ada disana. Meski tepat di depanku ubin kamar mandi, kedua mataku menampilkan semua hal yang belum usai.
Dengan dia salah satunya.
Dan waktu-waktu sewaktu masih menjadi kami.
Dan semua hal yang berganti. Kosong meski diisi, sesak meski dikasihi.
Mengapa tak kunjung selesai. Mengapa juga tak hilang-hilang. Aku terus berada dalam bayang-bayang. Meski sinar matahari yang begitu hangat telah datang, juga hal-hal manis yang menyenangkan.
Telah lama aku berhenti menyalahkan. Turut senang pada setiap kabar baik yang dibagikan. Tapi seperti ditimpa batu raksasa, perasaan aneh itu masih saja menyusahkan. Membuatku ragu pada setiap hal baru. Mematikan semua hal yang hendak tumbuh.
Sejujurnya aku lelah dan melelahkan.
Komentar
Posting Komentar