Dua puluh lima tusuk sate, telah habis sudah. Begitu pula dengan dua piring dengan nasi yang jemblung. Sementara dua gelas teh tawar panas yang sudah bersuhu ruangan, masih kami teguk irit-irit. Sebab masing-masingnya belum ingin beranjak pergi.
Rintik-rintik seperti deras di atas atap seng, bulirnya menetes di bagian tepi. Garis halus kasat mata di bagian lampu penerangan. Deras kembali mengguyur pinggir kota.
“Gimana kabar mamah?”
Aku mendongak dan tersenyum tipis. Sifat terus terangnya masih sama, rupanya.
“Selama paket shopee masih dateng ke rumah sih tandanya mamah baik-baik aja,”
Kami sama-sama terkekeh sebelum kembali sibuk memikirkan topik selanjutnya.
“Jadi, kamu kenapa? Masalah kuliah?”
Tak ada ruang untuk basa basi, ternyata.
Aku menunduk memainkan tusuk sate, lalu meneguk sedikit teh tawar yang sepet seperti hidupku.
“Bukan. Mungkin. Ngga tau aku.”
Tapi sejujurnya, aku memang tak tahu pasti. Semua hal terjadi tiba-tiba, bersamaan, membuatku pening dan gusar, tanpa panduan harus bagaimana. Pikiranku kalang kabut. Suntuk dan kusut.
“Aku bisa jadi orang ngga, ya?”
Pada akhirnya, pertanyaan itu yang terlepas dari bibir. Merangkum gelisah yang menggerogoti caraku menyukai diri sendiri.
Ia tak melihatku. Pandangannya mengawang pada langit malam.
“Jangan males.”
Aku mendengus, ia tertawa kecil sembari mengacak poni ikalku.
Setelahnya, kami tak lagi bicara tentang kuliah, patah hati, juga hidup masing-masing. Pembicaraan mengalir membawa nostalgia di waktu kecil. Bagaimana dulu aku begitu tengil dan susah dibilangi, meski sampai saat ini.
Satu waktu kami tergelak sembari menyeruput kopi, sebab teh tawar sebelumnya sudah habis sedari tadi.
Di waktu selanjutnya kami menyepi, biar asap bakar dari Marlong dan Surya 12 yang bicara mewakili.
Ah, segalanya benar-benar menjadi lebih baik karena papa disini.
Komentar
Posting Komentar