‘Yah, ayo, aku telat, nih!’
Kala itu aku belum punya arloji, tapi tenda nasi uduk Bu Haji yang mulai sepi pengunjung mampu menjadi penanda waktu yang telah beranjak, paling tidak berkisar setengah 8 pagi. Kurang dari itu, pasti masih banyak ibu-ibu yang antri demi nasi uduk atau lontong sayur untuk bekal putra-putrinya. Lebih pagi lagi, waktunya bapak-bapak ronda yang bertukar berita dengan bapak-bapak dari masjid selepas subuh, ditemani secangkir teh panas dengan pisang dan bakwan goreng yang baru masak.
‘Yah, ayo!’
Seru ku lagi, mendapati kecepatan motor yang konstan. Bayang-bayang berdiri di tengah lapangan upacara sampai jam istirahat, menumbuhkan niatku untuk kembali pulang dan menulis surat izin sakit kepada wali kelas.
‘Oke, Nak, pegangan ya!’
Seketika, ayah merendahkan tubuhnya, seolah bersiap menjadi seorang pembalap profesional. Sebelah tanganku pun segera memeluk erat pinggang ayah yang lebar nan empuk seperti ban berenang, sedang sebelah lainnya menahan topi merah putih di atas rambutku yang saat itu masih keriting dan bau matahari—supaya tidak terbang dan hilang dihempas angin.
‘Brrmm brmm nggggg’
Begitu suara ayah meniru Valentino Rossi, lengkap dengan liuk tubuhnya yang seperti ahli.
Aku pun menutup mata, mengeratkan peluk, sembari menanti semilir udara dingin yang sepertinya tak kunjung tiba. Rupanya, kecepatan sepeda motor ayah tak pernah berubah.
Hari itu, aku berdiri sampai tengah hari, dan menolak bicara dengan ayah selama dua hari.
—
Aku, benar-benar rindu ayah.
Rasanya, semakin dewasa, kami semakin disibukkan dengan peran masing-masing.
Ayah dengan rutinitas bekerja yang semakin padat karena anak-anaknya telah menjejakkan kaki di jenjang yang lebih tinggi.
Pula aku yang mulai merasa, sudah waktunya merintis masa depan untuk bangga dan bahagianya.
Hal-hal kecil kemudian menjadi lebih artinya.
Seperti waktu-waktu makan bersama yang tak tentu, atau waktu-waktu berkendara walau dekat jarak tempuhnya. Juga tanya sepele ayah tentang aku sedang apa, bahkan bila dilihatnya jelas sedang apa aku disana.
Pun begitu, aku, benar-benar rindu padanya.
Komentar
Posting Komentar