Langsung ke konten utama

Terlambat

Hembusan angin senja terasa menggelitik tengkukku. Membuatku semakin merapatkan pakaian berbahan tebal pemberian kakakku dua tahun yang lalu. Langit yang semula memancarkan cahaya jingga yang lembut, kini mulai berubah kelabu, menyisakan segurat warna kemerahan di ufuk barat. Tatkala suara adzan terdengar sayup sayup, kembali aku merogoh ponsel dari dalam saku bajuku. Kutautkan kedua alisku dan berdecak, ketika lagi lagi tidak terdengar nada sambung di penghujung telepon. Satu kali, dua kali, lima kali, namun tetap dijawab operator. 

Aku merutuk diri sendiri dan menyesal memilih menunggu di sekolah, karena gerbang sekolah sudah dikunci dari pukul empat sore sebab tidak ada kegiatan ekstrakurikuler setiap hari senin. Andai aja aku tetap di rumah Hani, tentu saja aku tidak akan menunggu sendirian selama hampir satu jam. Aku memutuskan untuk memberi kelonggaran selama lima menit, dan bersiap memesan ojek konvensional jika dia benar benar tidak datang.

Aku tiba di rumah pukul tujuh dengan diantar Kak Anis, mahasiswa tingkat 3 jurusan ekonomi syariah yang menjadi driver ojek konvensionalku, setelah sebelumnya berpapasan dengan mobil ayah yang akhirnya berangkat ke pernikahan teman ibu di daerah BSD tanpa diriku. Ditambah ibu yang mengomel karena aku yang tidak pulang pulang dan kenyataan bahwa di rumah tidak ada makanan, berhasil membangkitkan emosi yang terpendam di pelupuk mataku. Tanpa berhasil kutahan, hingga meluncur bebas berkali kali.

Terhitung lebih dari lima kali dia telah membatalkan janji dalam dua bulan terakhir. Membuatku menunggu lebih dari satu jam tanpa memberi kabar barang satu kali pun.

Aku mereka ulang kejadian saat pertama kali dia membatalkan janji untuk pergi denganku di akhir pekan awal bulan lalu. Saat itu aku sangat ingin bertemu dengannya, melepas rindu sekaligus menceritakan keseharianku di sekolah baru. Aku menunggunya di rumah dari pagi hingga malam, melewatkan tawaran kakakku untuk menemaninya ke bioskop. Dia baru membalas 78 pesanku pukul 10 malam, acara bersama teman teman baru di sekolahnya dia beralasan. 

Aku mengakuinya, memang sulit untuk menjalin hubungan jarak jauh jika sebelumnya terbiasa bersama. Aku berusaha mengerti, pantang untukku menyuruhnya memilih antara aku dengan teman temannya. Bagiku hal itu merupakan pilihan yang kejam, dan tentu saja dia akan memilih teman temannya. Ya, aku kira begitu.

Tapi bukankah wajar jika aku marah? Jika aku merasa kecewa karena lagi lagi hanya aku yang memprioritaskan dirinya? Karena lagi lagi hanya aku yang rela menghabiskan waktu bersamanya? Karena lagi lagi hanya aku yang mengganggap dia penting.

Mungkin memang hanya aku yang menganggapnya lebih dari sekedar teman.

Kembali aku meraih smartphone di atas nakas, jari jemariku awalnya ragu untuk mengetik pesan. Kemudian dengan seringkali berhenti, aku berhasil menyelesaikannya.

Adit's pov.

Kedua mataku berkedip lelah. Bahkan terasa berat hanya untuk membuka kelopak mata. Aku tidak menyangka bahwa bersekolah di sekolah menengah kejurusan akan menjadi sesibuk ini. 

Aku baru saja sampai di depan kompleks perumahan Nana setelah sebelumnya membawa motorku dengan kecepatan penuh menuju sekolahnya. Gadis bertubuh mungil yang telah menjadi tempatku berteduh selama satu tahun belakangan. Kepribadiannya yang hangat, membuatku selalu lupa terhadap segala macam masalah yang berkecamuk dalam pikiranku. Ah, aku bisa membicarakannya seharian jika dibiarkan.

Terhitung dua minggu lamanya aku tidak bertemu dengannya. Dia pun memintaku untuk menjemputnya di sekolah pukul setengah lima sore tadi. Sungguh, aku berani menukar apapun demi memutar waktu. Apapun.

Seharusnya aku mengecek persedian bensin sebelum pergi kemana pun. Namun, 23 missed call dari Nana benar benar membuatku panik dan langsung bergegas pergi dari sekolah. Aku tidak peduli jika teman temanku marah karena aku meninggalkan mereka saat sedang mengerjakan tugas, mereka bisa kembali memaafkanku jika aku traktir di keesokan hari. Tapi, mengecewakan Nana untuk yang kesekian kalinya... Aku tidak yakin apakah dia masih memberiku kesempatan.

Aku melaju tanpa memikirkan kecepatan, ketika tiba tiba saja laju kendaraanku menurun, kemudian berhenti. Bensin motorku habis di tengah jalan, dan tentu saja tidak ada pom bensin di sekitarnya.

Aku mendorong motorku menuju pom bensin yang berjarak dua kilometer dari tempatku berhenti. Telepon genggamku pun tidak dapat menangkap sinyal. Hh, aku benar benar mencemaskan Nana. Tidak apalah jika dia sudah pulang, setidaknya dia tidak menungguku di sekolah sendirian.

Sekitar 10 menit setelah adzan mahgrib berkumandang, tidak tampak tanda tanda kehidupan di sekolah Nana. Aku berharap dia sudah sampai di rumah, aku harap tidak terjadi apa apa pada dirinya.

Kuputuskan untuk membeli bakso kesukaan Nana sebelum pergi ke rumahnya. 

Kurogoh saku celanaku untuk mengambil telepon genggam, mencoba memberi kejutan sekaligus meminta maaf atas kesibukanku selama dua bulan terakhir. Aku benar benar menyesal, dan aku sangat merindukannya.

Dan saat itulah telepon genggamku bergetar, layarnya memperlihatkan gambar pesan masuk.

Dari : Nana

Hai, dit, malam.

Hm, aku mau ngomong sesuatu, tapi kamu jgn marah ya?

Oke, yg pertama, aku mau bilang maaf. Aku minta maaf karna gabisa jadi pribadi yg seru, asik, dan selalu bisa bikin kamu seneng. 

Aku minta maaf karna selama ini sering nyusahin kamu, sering bawel, minta aneh aneh, pokoknya bikin kamu ribet.

Aku minta maaf karna seringkali gaada, waktu kamu butuh aku.
Aku minta maaf.

Dan yg kedua, aku.. makasih banyak. Untuk semua hal yg gabisa aku sebut satu satu.

Hehe

Dit, aku sayang kamu. Beneran. Tapi kalo cuma aku yg usaha, buat apa? 

Aku nunggu kamu 1 jam lebih, dit. Di sekolah yang sepi, dan kamu sama sekali gabisa dihubungin. Kamu bisa kabarin aku kalo kamu gabisa jemput..

Yaudah.. Sekali lg aku minta maaf, dan makasih banyak buat semuanya.

Semoga kamu selalu sehat dan sukses bareng temen temen kamu, ya?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Tahun

4 tahun.  Lama juga, ya. Harusnya, satu tahun ke depan, kamu bakal banyak ngomel ke aku soal dosen pembimbing kamu, sebanyak aku ngeluh ke kamu soal Malang yang semakin macet, bensin mahal dan ngga ada Vivo. Aku juga kebayang kalo kita wisuda bareng. Nanti aku ke Bogor, terus gantian kamu ke Malang. Aku bakal bawa jas supaya kita bisa foto studio disana. Lucu kali, ya. Jadi inget waktu wisuda SMP, waktu aku masih dipelototin ayah kamu, tuh. Aku juga jadi inget waktu kita kelas 12 SMA. Belajar seharian sambil pesen makan. Kamu paling sebel kalo aku udah ketiduran. Terus, kamu bakal manggil mama supaya aku auto bangun dan belajar beneran. Ohiya, mama masih suka ngomongin kamu loh, Lan. Kamu sih, lulus duluan.  Hehe. Ngga banyak yang terjadi dari terakhir kali aku kesini, satu tahun yang lalu. Aku minta maaf ya, Lan, karena jarang pulang. Setelah lulus nanti, aku bakal cari kerja di Bogor, kok. Biar bisa ketemu kamu. Aku juga udah berhenti ngerokok loh, Lan. Pindah vape gapapa, y...

Maybe someday, or next week, I’ll finally forget you.

Because today, I still love you. Maybe it’s not even you anymore, but the version of you I kept safe in my head. Maybe that’s why the feeling still stays like they haven't heard the news. Because I keep thinking. Maybe you were just as lost, and just as hurt. That maybe the only reason we bled was because we didn’t know how else to hold our pain. And so the words we said only sounded like weapons. I keep thinking that someday, you’ll find answers you haven’t yet found the words for. And I once wondered: is it love when we believe in it, or is it love when we accept what it never was? I still don’t know. But I do know this: I still check in on you. Still care about things you won’t share. Still wonder about how your heart is doing today. So maybe not now. Because now, you still live somewhere in me. Even when you’ve long been gone. And maybe not yet. Because there are things I still want to write. Yours, I still want to hold space for. And this one thing I still want to say: I still...

I live alone, but I never feel lonely.

Because for as long as I can remember, he never left me by myself. Not even once. He always made sure to treat me gently, to care for my needs, completely. He never raised his voice. Never dismissed my hand. He took me to beautiful places, and to the ordinary ones that meant just as much. He stayed by my side. And when he couldn’t, he always found his way back to me. He remembered every little thing about me, and made sure I’d always say, “I’m happy.”  He was there. He always was. And I really am happy. But it was me who couldn’t believe he was mine. It was me who couldn’t stop thinking he’d leave someday. So I kept proving myself. Kept trying, hiding, shrinking. I lost myself, trying to prove my love for him. When all I ever needed was to love him back. I brought the wounds I never truly faced, believing that being with him could make everything easier. And it was. But the untreated, unaddressed ache became a heartless resistance, one thing he never, ever deserved. And...