Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2021

Si Puan Kelana

Itu dia, Si Puan Kelana. Pelari ulung yang tak mengindahkan luka pada tumitnya, bukan gagah berani, lari dia dari gemulai kengerian yang membayangi. Itu dia, Si Puan Kelana. Penyelam nomor satu, yang berkawan erat dengan asrar para penghuni laut paling dalam. Menjadi ahli ia menahan nafasnya, habis pun tiada acuh kiranya. Itu dia, Si Puan Kelana. Pengembara dalam dunia yang melewati interpretasimu tentang indah sekaligus keji.  Benar itu, Si Puan Kelana.  Nyawanya terhuyung-huyung, tak jejak. Beratma sudah ia lupa, demikian lama berdiri di atas kaki rapuhnya sendiri. Menugasi hidupnya menabur bunga, telapaknya berdarah-darah di atas ladang duri.  Bertanyalah seorang peduli, ‘sampai kapan hendaknya kamu seperti ini?’ Si Puan Kelana termenung. ‘Sampai aku tidak lagi seperti ini.’

Angin

Desing angin di alam bebas tak pernah sebegitu syahdu—setidaknya menurut masyarakat desa setempat yang kesehariannya berlatar iringan dengus arus udara sejak subuh hingga waktunya badan berpulang penuh peluh. Berbanding terbalik halnya denganku, ketika satu-satunya keistimewaan hawa dingin di hampir dua puluh satu hidupku di muka bumi, datang dari daun kipas angin kuningan yang berputar uzur sejak setengah abad yang lalu. Kipas angin lawas yang diturunkan almarhum Eyang Kung dari bapak, yang dengan ajaibnya masih mampu bergerak, tidak dengan baik, tetapi bergerak. Memainkan suara latar bak kodok malam yang terhimpit batu kali, lalu diambang mati sebab seekor garter dengan manis datang menghampiri. Kembali lagi, desing angin di alam bebas bak belati yang menebas ruang pendengaranku. Memang tidak sedemikian kuat untuk mampu memporak-poranda tanaman kubis yang hendak panen di bawah sana, namun cukup untuk menyapa sisa gugur-gugur daun tropika hingga mereka balas melambai di ketinggian ...

Kembara

Setiap kali dalam perjalanan, aku selalu berangan-angan. Bagaimana ya, rasanya, menjadi puan kelana yang menutup mata pada arah, mengembara dalam belantara antah berantah, mengenal setiap jengkal sudut kota yang belum dijamah. Berhenti di tengah laju kendara, misalnya. Lantas beralih pada persimpangan yang berbeda, atau berjalan pada haluan sebaliknya.  Pun laksana menuntun sepeda motorku menuju tepi jalan penghubung yang membelah wana, lalu bersembunyi di balik pohon-pohon tua yang menjulang raksasa, sampai-sampai dilahap kabut tak berkesudahan yang menyelimutinya. Mungkin juga seperti turut melebur dalam tiap debur ombak yang bergelung. Meniru asingnya pantai terselubung.  Pula sebagaimana menurunkan diri di stasiun sesuka hati. Membaur di antara manusia sibuk sendiri yang baru kutemui. Mengamini kemana pun tungkai ini membawa tubuhku pergi. Rasanya, aku hanya ingin melanglang buana, berkelana, walau buta bahasa, tanpa tuju, tanpa terpaut waktu, hanya aku dan langkah bersepa...