Langsung ke konten utama

Halaman Pertama

Derai hujan memaku keras tubuh-tubuh kokoh berbalut seragam hijau gelap bercorak loreng yang berselimut gemerisik dedaunan. Hentakan pasti di antara ranting serta gulir-gulir akar pepohonan, hampir tidak bersuara, tenggelam dalam setiap rintik yang jatuh ke bumi. Sesekali gelegar petir menyambar, disusul sekelebat cahaya pada detik berikutnya. Hempasan angin mengayunkan ranting-ranting teratas pohon Merbau. Bunyi-bunyi asing menggema, entah hewan apa yang mampu bersuara di tengah gempuran badai pada suatu kawasan rimba di Timur bumi. 

Belukar-belukar menghadang, dahan-dahan menghalang. Tumbuhan rambat yang menghalau pandangan berkali-kali ditumpas dalam sekali tebas. 

Tepat 200 meter menuju target, salah seorang di barisan terdepan mengangkat kepalan tangannya, pasukan segera menghentikan langkah lantas merunduk lebih rendah.

‘Alpha 1 kepada Armada, kami berada dalam parameter target.’

‘Armada kepada Alpha 1, baik, enam orang di sebelah barat dan dua belas orang dalam kabin.’

Sosok itu bergeming, mengamati pria-pria berpunggung senjata pada pondok tua di tengah hutan yang mulai terbuka. 

‘Kami melihatnya.’ Derasnya hujan menenggelamkan suaranya.

‘Baik, terus kabari.’

Ia mengangguk, memimpin pasukan bergerak mendekat.

Selanjutnya, asap membumbung dari bola-bola kecil yang digulingkan, mengaburkan indra penglihatan. Rentetan suara senjata api memekakkan telinga. Selongsong berjatuhan, tubuh-tubuh bergelimpangan. Baku tembak terjadi antara pasukan berseragam dengan pasukan berbalut kain lusuh serta bergores garis berwarna putih pada wajah yang berkulit gelap.

Dalam waktu kurang dari tiga menit, semua musuh berhasil dilumpuhkan.

Salah seorang dari pasukan kemudian maju lebih dulu, bergerak penuh siaga mendekati pintu berbahan dasar kayu itu. Permukaannya yang telah lapuk dimakan usia, tergores disana-sini akibat hantaman peluru. 

Seorang lainnya menepuk bahunya, memberi tanda atau kode untuk melanjutkan gerakan. Genggaman pada kenop pun mulai berputar, perlahan memberi jarak antara pintu dan kusennya.

Di dalam ruangan, sosok itu duduk dengan tenang, mengangkat sebuah kotak hitam dengan tombol merah gelap tepat di bawah ibu jarinya.

Sebelum peringatan bersuara, dentuman maha dahsyat telah menghabisi pondok tua beserta seluruh isinya.

.

Halaman pertama,
ditulis berdasarkan catatan operasi x, lokasi dirahasiakan, pada April 2002.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Tahun

4 tahun.  Lama juga, ya. Harusnya, satu tahun ke depan, kamu bakal banyak ngomel ke aku soal dosen pembimbing kamu, sebanyak aku ngeluh ke kamu soal Malang yang semakin macet, bensin mahal dan ngga ada Vivo. Aku juga kebayang kalo kita wisuda bareng. Nanti aku ke Bogor, terus gantian kamu ke Malang. Aku bakal bawa jas supaya kita bisa foto studio disana. Lucu kali, ya. Jadi inget waktu wisuda SMP, waktu aku masih dipelototin ayah kamu, tuh. Aku juga jadi inget waktu kita kelas 12 SMA. Belajar seharian sambil pesen makan. Kamu paling sebel kalo aku udah ketiduran. Terus, kamu bakal manggil mama supaya aku auto bangun dan belajar beneran. Ohiya, mama masih suka ngomongin kamu loh, Lan. Kamu sih, lulus duluan.  Hehe. Ngga banyak yang terjadi dari terakhir kali aku kesini, satu tahun yang lalu. Aku minta maaf ya, Lan, karena jarang pulang. Setelah lulus nanti, aku bakal cari kerja di Bogor, kok. Biar bisa ketemu kamu. Aku juga udah berhenti ngerokok loh, Lan. Pindah vape gapapa, y...

Maybe someday, or next week, I’ll finally forget you.

Because today, I still love you. Maybe it’s not even you anymore, but the version of you I kept safe in my head. Maybe that’s why the feeling still stays like they haven't heard the news. Because I keep thinking. Maybe you were just as lost, and just as hurt. That maybe the only reason we bled was because we didn’t know how else to hold our pain. And so the words we said only sounded like weapons. I keep thinking that someday, you’ll find answers you haven’t yet found the words for. And I once wondered: is it love when we believe in it, or is it love when we accept what it never was? I still don’t know. But I do know this: I still check in on you. Still care about things you won’t share. Still wonder about how your heart is doing today. So maybe not now. Because now, you still live somewhere in me. Even when you’ve long been gone. And maybe not yet. Because there are things I still want to write. Yours, I still want to hold space for. And this one thing I still want to say: I still...

I live alone, but I never feel lonely.

Because for as long as I can remember, he never left me by myself. Not even once. He always made sure to treat me gently, to care for my needs, completely. He never raised his voice. Never dismissed my hand. He took me to beautiful places, and to the ordinary ones that meant just as much. He stayed by my side. And when he couldn’t, he always found his way back to me. He remembered every little thing about me, and made sure I’d always say, “I’m happy.”  He was there. He always was. And I really am happy. But it was me who couldn’t believe he was mine. It was me who couldn’t stop thinking he’d leave someday. So I kept proving myself. Kept trying, hiding, shrinking. I lost myself, trying to prove my love for him. When all I ever needed was to love him back. I brought the wounds I never truly faced, believing that being with him could make everything easier. And it was. But the untreated, unaddressed ache became a heartless resistance, one thing he never, ever deserved. And...