Langsung ke konten utama

Tanah Basah


Semburat jingga mentari yang tergelincir telah tenggelam sejak lalu, kini waktu berjalan semakin larut bersama hembusan angin bulan Juli yang menggelitik tengkuk para pelancong malam di kota Malang. Muda-mudi di atas kendaraan beroda dua, mengantri jalan di persimpangan jembatan Soekarno-Hatta. Seperti hari yang sudah-sudah, setiap kedai kopi di sudut kota, tak pernah sepi hingga malam kembali berjumpa pagi.
Di kawasan universitas pun masih ditemui beberapa kawanan mahasiswa di antara temaram lampu pada ruang-ruang kosong maupun taman-taman buatan dimana hewan-hewan nokturnal memecah hening. Ada yang sibuk berdiskusi demi eksistensi organisasi, ada pula yang aktif bekerja sama menyatukan mimpi.
Aku sendiri bimbang untuk menunggu lebih lama. Suara kakak tingkat yang berbicara di tengah ruangan, terdengar sayup-sayup di kedua telingaku. Sementara sebagian besar manusia menghabiskan waktunya berburu senja hingga bermandi gemerlap cahaya bulan, aku terjebak dalam rapat anggota yang sedang berlangsung tanpa adanya tanda-tanda segera usai. Dari tempatku bersandar, kanan-kiri terlihat sibuk dengan gadget pribadi masing-masing sementara sebagian lainnya menguap tanpa henti.
Salam diucapkan dan jargon digaungkan. Akhirnya rapat dibubarkan sebelum aku sempat mengajukan izin pulang. Satu per satu anggota berlalu melalui pintu setelah saling bertukar pamit lebih dulu.
Di luar ruangan, aku melewatinya yang sedang mengikat tali sepatu. Ia duduk tepat di bawah bohlam sehingga aksen kemerahan pada ilustrasi Osaka di jaket coach hitam miliknya tampak berbinar. Aroma tanah basah bercampur harum woody tertiup semilir angin. Aku menyapa, lalu menyepak pelan sebelah sepatunya yang belum dipasang. Alisnya serta merta bertaut, menoleh membentuk raut wajah yang menggerutu menggemaskan dari balik topi baseballnya.
Kemudian diraihnya sebelah sepatu yang berguling.
“Lani pulang sama siapa?”
“Sama ini,” Jawabku, menyunggingkan senyum seraya memainkan boneka panda mini yang menggantung di kunci motor milikku.
Ia terkekeh, “Oke, hati-hati, ya.”
Aku mengangguk sementara jemarinya menepuk-nepuk puncak kepalaku. Tinggi tubuhnya yang menjulang mulai menjauh, sementara wajahku merona atas ganjil yang tiba-tiba hadir berwujud rasa. Pada langkah kesekiannya setelah memunggungiku, ia berhenti. Di penghujung koridor, salah seorang kawanku meraih sikunya setelah menurunkan sisi rok yang terangkat. Keduanya kemudian saling melempar senyum sebelum berbelok di ujung jalan.
Di sepanjang perjalanan pulang, benakku bergumam dalam tanya. Namun tak heran keduanya terlihat bersahabat mengingat mereka berasal dari jurusan yang sama. Toh, rumah kos mereka berdua memang searah, begitu pikirku sembari mengembalikan konsentrasi berkendara sepenuhnya.
Pada beberapa pertemuan berikutnya, bukan lagi hal yang asing melihat mereka tiba dan pulang bersama. Dengan siku yang disandang di atas bahunya, atau salah satu tangan yang meremas tangan lainnya, gelak tawa mereka yang tertahan seringkali terdengar dari baris belakang, sekali pun dalam pertemuan atau rapat yang sedang berjalan.
Kala itu, tanpa sadar kedua bola mataku mengikuti setiap canda yang terurai. Menangkap caranya memandang gadis di sampingnya. Memperhatikan bagaimana jemarinya memainkan rambut hitam sepanjang bahu itu, menepuk-nepuk puncak kepalanya tepat seperti ia menepuk-nepuk puncak kepalaku. Aku hirup nafas dalam-dalam, mencoba menghilangkan beban kasat mata yang menghimpit rongga dada.
Suatu sore di awal pekan ketiga bulan Juli, aku  duduk menunggu di salah satu gazebo di depan gedung fakultasnya setelah berjanji berangkat bersama untuk menghadiri acara reuni sekolah menengah kami.
Sosoknya di balik seragam putih abu adalah salah satu hal yang aku rindu. Wajah lugunya berbanding terbalik dengan sikapnya yang mampu memecah suasana. Ia selalu mampu menghibur siapa pun yang terluka, selalu mengutamakan kepentingan orang lain dibandingkan dirinya, hingga kadang kala melupakan bahwa dirinya juga manusia.
Ah, aku ingat mimpi-mimpinya waktu itu. Senantiasa berusaha semalam hingga pagi di balik buku-buku yang menggunung di meja belajarnya, sampai kini mampu menyandang almamater salah satu universitas terbaik di dalam negeri. Ada bahagia tersendiri menjadi saksi pencapaian cita-citanya.
“Udah lama, Lan?”
Langit mulai kelabu ketika ia datang menghampiri.
Aku meringis,  “Seabad dua abad, lah.”
Ia terkekeh, kemudian menyodorkan satu dari tiga botol minuman kemasan di dalam ransel miliknya.
“Trims, berangkat yuk, udah mendung gitu,”
“Hmm, tunggu sebentar ya?” Diliriknya arloji pada pergelangan tangan kirinya, “Rara sebentar lagi pulang, aku nganter dia dulu,”
Perlu sepersekian detik untukku sebelum mampu bereaksi. Ketika pada akhirnya aku mendapat tanggapan, gerimis tiba bersama sosok Rara di kejauhan.
 “Kamu tau kan, Rara punya pacar?”
 Aku bertanya, memandang Rara di balik bahunya sebelum ia menyadari keberadaannya.
“Aku tau,”
Seperti reka sinema tanpa suara, kekhawatiran serta gupuhnya tak sampai terdengar padaku. Entah tenggelam di antara deru hujan, atau alasan lainnya yang tidak kupahami. Aku menyadari ucapan pamitnya untuk mengantar Rara pulang, ransel yang diangkatnya menutupi kepala gadis itu, serta bagaimana lidahku tetap kelu. Aroma tanah basah kembali tertiup semilir angin.
Tapi aku termangu, rasa ganjil kali ini tak membuat kedua pipiku bersemu. Seperti membisu, sebab tercekat oleh emosi asing yang tiba-tiba bertamu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Tahun

4 tahun.  Lama juga, ya. Harusnya, satu tahun ke depan, kamu bakal banyak ngomel ke aku soal dosen pembimbing kamu, sebanyak aku ngeluh ke kamu soal Malang yang semakin macet, bensin mahal dan ngga ada Vivo. Aku juga kebayang kalo kita wisuda bareng. Nanti aku ke Bogor, terus gantian kamu ke Malang. Aku bakal bawa jas supaya kita bisa foto studio disana. Lucu kali, ya. Jadi inget waktu wisuda SMP, waktu aku masih dipelototin ayah kamu, tuh. Aku juga jadi inget waktu kita kelas 12 SMA. Belajar seharian sambil pesen makan. Kamu paling sebel kalo aku udah ketiduran. Terus, kamu bakal manggil mama supaya aku auto bangun dan belajar beneran. Ohiya, mama masih suka ngomongin kamu loh, Lan. Kamu sih, lulus duluan.  Hehe. Ngga banyak yang terjadi dari terakhir kali aku kesini, satu tahun yang lalu. Aku minta maaf ya, Lan, karena jarang pulang. Setelah lulus nanti, aku bakal cari kerja di Bogor, kok. Biar bisa ketemu kamu. Aku juga udah berhenti ngerokok loh, Lan. Pindah vape gapapa, y...

Maybe someday, or next week, I’ll finally forget you.

Because today, I still love you. Maybe it’s not even you anymore, but the version of you I kept safe in my head. Maybe that’s why the feeling still stays like they haven't heard the news. Because I keep thinking. Maybe you were just as lost, and just as hurt. That maybe the only reason we bled was because we didn’t know how else to hold our pain. And so the words we said only sounded like weapons. I keep thinking that someday, you’ll find answers you haven’t yet found the words for. And I once wondered: is it love when we believe in it, or is it love when we accept what it never was? I still don’t know. But I do know this: I still check in on you. Still care about things you won’t share. Still wonder about how your heart is doing today. So maybe not now. Because now, you still live somewhere in me. Even when you’ve long been gone. And maybe not yet. Because there are things I still want to write. Yours, I still want to hold space for. And this one thing I still want to say: I still...

I live alone, but I never feel lonely.

Because for as long as I can remember, he never left me by myself. Not even once. He always made sure to treat me gently, to care for my needs, completely. He never raised his voice. Never dismissed my hand. He took me to beautiful places, and to the ordinary ones that meant just as much. He stayed by my side. And when he couldn’t, he always found his way back to me. He remembered every little thing about me, and made sure I’d always say, “I’m happy.”  He was there. He always was. And I really am happy. But it was me who couldn’t believe he was mine. It was me who couldn’t stop thinking he’d leave someday. So I kept proving myself. Kept trying, hiding, shrinking. I lost myself, trying to prove my love for him. When all I ever needed was to love him back. I brought the wounds I never truly faced, believing that being with him could make everything easier. And it was. But the untreated, unaddressed ache became a heartless resistance, one thing he never, ever deserved. And...