Langsung ke konten utama

Yang sama dan berbeda

‘Ta, taichan yuk?’

Kupandangi layar ponsel cukup lama, menimang pilihan-pilihan yang beradu di kepala. 

Ah, sudahlah. Ini tak kan jadi lebih dari biasa.

Begitu dalihku sembari bersolek. Mengoles rona merekah dengan tetap menjaga sederhananya. Mengambil blouse merah muda sebelum menggantinya dengan busana berwarna serba gulita yang terlihat selaras dengan warna khaki pada tas selempang jua sandal pergi yang hendak kubawa. 

Urung niatku menata gerai hitam keabuan di atas kepala, dibiarkan olehku jatuh bergelung di tepi bahu. Lantas lirih aku mendengu atas mudahnya dikalahi antusiasme yang tak ada gunanya.

Lalu berjalanlah aku segera ke luar pagar rumah. Kemudian melirik arloji, mengintip waktu, menyerana.

Ah, sedang apa, coba? 

Batin sesal yang menghampiri dan menggangguku, atas niat yang nampak terpampang lebih dari seharusnya.

Ah, sudahlah. Ini tak kan jadi lebih dari biasa,

aku rapal kembali seperti mantra.

Lebih dari sejenak waktu berlalu, sampailah ia. Mengenakan sweater hitam dipadu dengan celana chino pendek bernuansa khaki, membuat kami senada tanpa direncana.

Namun tak kuberi waktu barang sedetik untuk membuka sangkar kupu-kupu. Seraya melafal mantra dalam benak dan berperangai seakan tak lebih dari biasa, duduk aku di belakangnya selepas memasang topeng wajah sedingin-dinginnya.

‘Taichan mana ya, Ta?’ 

dipecahnya hening, sedang aku mengenakan pelindung kepala bermotif polkadot yang dibawakan olehnya, 

‘Gatau, deh. Terserah lo.’

Benar, ini tak kan jadi lebih dari biasa.

‘Galak banget si nona, laper ya?’ 

Kubalas mendengus malas.

‘Gue ngebut, nih. Pegangan ya, Ta?’ 

‘Pegangan besi belakang maksudnya, hehe’

Lagi-lagi bergurau ia menjaili, meski tak pernah berhasil untukku membiasakan diri. Ia benar-benar tak menyadari seberapa besar usahaku menyembunyikan degup yang berdetak tak masuk akal, bak jarum jam di ruang sunyi. Akibat ulahnya, mantraku pun selalu berakhir meragu, berubah rimanya.

Ini tak kan jadi lebih dari biasa, bukan?

Sebab dingin angin malam dengan ajaibnya menghangat. Meluruh seluruh yang sebelumnya kubangun kuat. Dan aku terkejut mendapati diriku menyenangi bagaimana padat lalu lintas mampu membuka banyak bicara. 

Seperti ketika ia menepi kemudian kami memesan. Sembari menunggu, sedap aromanya berhembus tanpa permisi, memancing lapar yang mengetuk-ngetuk menolak sabar. Kami sama-sama bersungut, sama-sama berbinar, sama-sama bersandar kepenuhan. Kami sama-sama tergelak, meski tak sedikit pula sama-sama bisu yang turut mengisi di antaranya. 

Terlalu banyak sama yang membuatku terlena. Aku hampir lupa interpretasi kami bisa saja berbeda. 

Benar, ini tak kan jadi lebih dari biasa.

Aku hanya satu, dari entah berapa. Kami berteman dan ia hanya senang menggoda.

Dan di antara diam-diam, jauh kulempar tatap pada jalan layang, lalu lalang, dan pendar-pendar lampu kota di kejauhan. Meski tetap saja tertangkap di ujung mata, menarik garis bibirnya yang membangun lesung di simpul senyumnya. Senyum yang menguatkanku sedari dulu, tanpa ia tahu itu.

Ini.... ah sudahlah. 

Aku hanya mengucap semoga.


——


Helai-helai hitam keabuan di atas kepalanya, menari-nari dihempas angin. Entah karena dilatari tenda merah, atau pedas dan panas yang dirasa, bersemu rona di wajahnya.

Aku berteman dengannya sejak lama. Sebelum kami sama-sama berhasil memasuki auditorium sebagai mahasiswa dan mahasiswi teknik industri di salah satu perguruan tinggi Jakarta, meski aku tiba di tahun yang berbeda. Di hari orientasi itu, di antara remang dan gemerlap lampu sorot, anggun sosoknya yang duduk di balik harpa, dibalut kebaya hitam beraksen emas dan rias sederhana, menyelimuti seluruh ruangan dengan sihirnya yang memikat ribuan manusia.

Bahkan sedari seragam putih abu dilapis badan hingga kini menyandang almamater kebanggaan, ia terus membuatku termenung, terkagum. 

Ia kirana. Ia jauh, jauh, jauh di atas sana. 

Kami berteman dan begitu semestinya. Tak ada jalan cerita yang menuliskan kami bersemi menjadi lebih dari biasa, kendati perasaanku yang tumbuh liar tak tahu malu, mengingat prestasi tertinggiku hanyalah menghadiri kelas tepat waktu selama tiga hari berturut-turut.

Benar-benar payah.

Kami sedang kehabisan bahan, ketika layar ponselku menyala.

‘Zankiii, masih di luar ya?‘

Aku tersimpul membaca pesan yang muncul tiba-tiba.

‘Aneh lo senyum-senyum sendiri,’

Aku menoleh dan mendapatinya mendapatiku. Tak mengira ia telah selesai mengamati lampu-lampu kendaraan.

‘Lo ngga jadi liburan? Katanya mau ke Bandung sama anak-anak?’ 

Sambungnya lagi.

‘Kayanya minggu depannya lagi, deh.’ Balasku, masih menunduk di atas layar ponsel. ‘Audy ternyata weekend ini balik Jakarta.’

‘Oh. Ngurus administrasi kelulusan ya?’

‘Ah, paling kangen gue aja, sih, dia.’

Dilemparnya gulungan tisue padaku. Mencemooh.

‘Jadi udah jadi, nih?’ Ia berucap dengan jeda pada masing-masing kata.

‘Ah ngga, gini-gini aja.’ Tandasku lebih cepat dari yang kuduga.

Dan ia kembali menoleh pada jalan raya.

Benar kan, tidak mungkin kami menjadi lebih dari biasa.

Tak pernah ia lebih dahulu membicarakan jujur isi hatinya, terlebih mengajakku pergi tanpa tuju dan agenda. Walau selalu didengarnya segala sampah dariku, dan tak pernah pula ia menolak kesana dan kesini, barang hanya satu waktu.

Tak pernah ia merajuk dan menghilang, meski ku kenalkan padanya siapa-siapa dalam hidupku. Rupa-rupanya, ahli betul ia menjaga batas pertemanan kami dengan membangun dinding yang terlampau tinggi.

Ia berpendar dan jauh di atas sana. Sedang aku mengetahui, aku berpijak jauh di bawah sini.

Aku bercerita tentang Audy dan perempuan-perempuan sebelumnya, dan tak pernah sekali pun melihatnya terganggu. Segala afeksi yang disengaja dan sebaliknya. Setiap persamaan yang mengulur panggilan hingga pagi buta. Sebilang temu dengan kedua matanya. Panggilah saja ia manusia batu, yang tak sekali pun memberi perhatian meski sekecil harapku yang tak tahu diri itu.

Ah, sudahlah. Kami benar-benar tak mungkin menjadi lebih dari biasa.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Tahun

4 tahun.  Lama juga, ya. Harusnya, satu tahun ke depan, kamu bakal banyak ngomel ke aku soal dosen pembimbing kamu, sebanyak aku ngeluh ke kamu soal Malang yang semakin macet, bensin mahal dan ngga ada Vivo. Aku juga kebayang kalo kita wisuda bareng. Nanti aku ke Bogor, terus gantian kamu ke Malang. Aku bakal bawa jas supaya kita bisa foto studio disana. Lucu kali, ya. Jadi inget waktu wisuda SMP, waktu aku masih dipelototin ayah kamu, tuh. Aku juga jadi inget waktu kita kelas 12 SMA. Belajar seharian sambil pesen makan. Kamu paling sebel kalo aku udah ketiduran. Terus, kamu bakal manggil mama supaya aku auto bangun dan belajar beneran. Ohiya, mama masih suka ngomongin kamu loh, Lan. Kamu sih, lulus duluan.  Hehe. Ngga banyak yang terjadi dari terakhir kali aku kesini, satu tahun yang lalu. Aku minta maaf ya, Lan, karena jarang pulang. Setelah lulus nanti, aku bakal cari kerja di Bogor, kok. Biar bisa ketemu kamu. Aku juga udah berhenti ngerokok loh, Lan. Pindah vape gapapa, y...

Maybe someday, or next week, I’ll finally forget you.

Because today, I still love you. Maybe it’s not even you anymore, but the version of you I kept safe in my head. Maybe that’s why the feeling still stays like they haven't heard the news. Because I keep thinking. Maybe you were just as lost, and just as hurt. That maybe the only reason we bled was because we didn’t know how else to hold our pain. And so the words we said only sounded like weapons. I keep thinking that someday, you’ll find answers you haven’t yet found the words for. And I once wondered: is it love when we believe in it, or is it love when we accept what it never was? I still don’t know. But I do know this: I still check in on you. Still care about things you won’t share. Still wonder about how your heart is doing today. So maybe not now. Because now, you still live somewhere in me. Even when you’ve long been gone. And maybe not yet. Because there are things I still want to write. Yours, I still want to hold space for. And this one thing I still want to say: I still...

I live alone, but I never feel lonely.

Because for as long as I can remember, he never left me by myself. Not even once. He always made sure to treat me gently, to care for my needs, completely. He never raised his voice. Never dismissed my hand. He took me to beautiful places, and to the ordinary ones that meant just as much. He stayed by my side. And when he couldn’t, he always found his way back to me. He remembered every little thing about me, and made sure I’d always say, “I’m happy.”  He was there. He always was. And I really am happy. But it was me who couldn’t believe he was mine. It was me who couldn’t stop thinking he’d leave someday. So I kept proving myself. Kept trying, hiding, shrinking. I lost myself, trying to prove my love for him. When all I ever needed was to love him back. I brought the wounds I never truly faced, believing that being with him could make everything easier. And it was. But the untreated, unaddressed ache became a heartless resistance, one thing he never, ever deserved. And...