Segalanya pernah baik-baik saja. Setidaknya begitu yang aku ingat. Atau mungkin saja hanya suatu hal yang kuharap pernah terjadi. Namun setidaknya, keyakinan itu menjagaku hidup.
Mereka masih saling berteriak, kemudian suara keras dari sesuatu berbahan dasar kayu yang dihantam. Suara-suara itu terdengar begitu jelas. Sekalipun di ruang gelap dalam lemari pakaian.
Salah satunya mengumpat, suara yang lebih berat, lantas disusul suara tamparan, atau sesuatu yang terdengar seperti tamparan.
Lalu hening.
Aku membuka mata dan tetap gulita. Menutup dan membukanya kembali, namun kegelapan pekat tetap menyelimutiku.
Samar-samar suara itu terdengar lagi. Caci maki dalam suatu perselisihan. Rasanya pekikan itu kian mendekat. Seolah olah berputar di sekelilingku, berputar mengelilingiku. Denting pecahan kaca, barang-barang yang jatuh, atau dijatuhkan. Seperti volume suara yang ditinggikan, sementara pengeras suaranya berada tepat di kedua telingaku.
Aku menjerit. Semoga sekeras yang kuharapkan.
"Neng?"
Seketika, aku merasa begitu kecil menghadapi sepasang mata yang memandang penuh selidik.
Di hadapanku, dua silinder putih dengan reruntuhan abu di salah satu ujungnya, terhantar bertumpuk pada mangkuk kecil berdasar keramik, mengecil dan membengkok dengan tidak wajar. Aku merogoh dalam-dalam tas punggung di pangkuanku, menyusuri setiap sisinya sampai jemariku menemukan kantung tersembunyi. Sial. Aku lupa persediaanku habis.
Tanpa dinding di salah satu sisinya, serta dua ruang besar untuk jendela di dua sisi lainnya, tempat ini mungkin tidak bisa disebut sebagai ruangan. Tabung televisi kecil berjenis lama di sisi pojok, menyala dengan volume rendah. Menjadikan seolah-olah pemeran dalam sinema rendah mutu itu bermain dalam film bisu. Namun sepertinya bapak-bapak paruh baya di hadapanku terlihat menikmatinya tanpa ada masalah.
"Pak, aku minta boleh ngga? Lupa belum beli lagi." Ucapku, dengan wajah setengah berharap.
Si bapak lalu menoleh pada jam dinding di atas televisi, kemudian mengusap wajahnya.
"Boleh ya pak? Satu aja nggak apa-apa deh pak."
Walaupun aku mengetahui dengan persis apa yang ada dalam pikiran beliau,
"Abis ini langsung pulang, janji pak."
--aku butuh gulungan lagi. Setidaknya satu gulungan lagi.
"Tapi abis itu langsung pulang ya, neng. Udah malem, ini sinetronnya aja udah abis."
Beliau tersentak lalu menggelengkan kepalanya, menghembuskan nafas ketika aku sungkem padanya.
Beberapa saat selanjutnya, asap tipis membumbung dari hidungku, membaur dengan udara malam yang akhirnya mampu menghantarkan rasa tenang.
....
*tidak untuk ditiru!
Mereka masih saling berteriak, kemudian suara keras dari sesuatu berbahan dasar kayu yang dihantam. Suara-suara itu terdengar begitu jelas. Sekalipun di ruang gelap dalam lemari pakaian.
Salah satunya mengumpat, suara yang lebih berat, lantas disusul suara tamparan, atau sesuatu yang terdengar seperti tamparan.
Lalu hening.
Aku membuka mata dan tetap gulita. Menutup dan membukanya kembali, namun kegelapan pekat tetap menyelimutiku.
Samar-samar suara itu terdengar lagi. Caci maki dalam suatu perselisihan. Rasanya pekikan itu kian mendekat. Seolah olah berputar di sekelilingku, berputar mengelilingiku. Denting pecahan kaca, barang-barang yang jatuh, atau dijatuhkan. Seperti volume suara yang ditinggikan, sementara pengeras suaranya berada tepat di kedua telingaku.
Aku menjerit. Semoga sekeras yang kuharapkan.
"Neng?"
Seketika, aku merasa begitu kecil menghadapi sepasang mata yang memandang penuh selidik.
Di hadapanku, dua silinder putih dengan reruntuhan abu di salah satu ujungnya, terhantar bertumpuk pada mangkuk kecil berdasar keramik, mengecil dan membengkok dengan tidak wajar. Aku merogoh dalam-dalam tas punggung di pangkuanku, menyusuri setiap sisinya sampai jemariku menemukan kantung tersembunyi. Sial. Aku lupa persediaanku habis.
Tanpa dinding di salah satu sisinya, serta dua ruang besar untuk jendela di dua sisi lainnya, tempat ini mungkin tidak bisa disebut sebagai ruangan. Tabung televisi kecil berjenis lama di sisi pojok, menyala dengan volume rendah. Menjadikan seolah-olah pemeran dalam sinema rendah mutu itu bermain dalam film bisu. Namun sepertinya bapak-bapak paruh baya di hadapanku terlihat menikmatinya tanpa ada masalah.
"Pak, aku minta boleh ngga? Lupa belum beli lagi." Ucapku, dengan wajah setengah berharap.
Si bapak lalu menoleh pada jam dinding di atas televisi, kemudian mengusap wajahnya.
"Boleh ya pak? Satu aja nggak apa-apa deh pak."
Walaupun aku mengetahui dengan persis apa yang ada dalam pikiran beliau,
"Abis ini langsung pulang, janji pak."
--aku butuh gulungan lagi. Setidaknya satu gulungan lagi.
"Tapi abis itu langsung pulang ya, neng. Udah malem, ini sinetronnya aja udah abis."
Beliau tersentak lalu menggelengkan kepalanya, menghembuskan nafas ketika aku sungkem padanya.
Beberapa saat selanjutnya, asap tipis membumbung dari hidungku, membaur dengan udara malam yang akhirnya mampu menghantarkan rasa tenang.
....
*tidak untuk ditiru!
Komentar
Posting Komentar