Langsung ke konten utama

Cerita Cinta

Kali ini, Rangga namanya. Tubuhnya tinggi, warna kulitnya sawo matang namun terlihat cerah—sepertinya rajin perawatan. Tipikal cowok yang pasti terkenal, terutama oleh kaum perempuan.

Rangga merupakan kakak tingkat di satu fakultas yang sama dengan Cinta. Mereka berdua sama-sama menjadi panitia dalam salah satu acara di kampus bulan lalu. Cinta, yang sedang dirundung patah hati, seketika melupakannya saat bertatap wajah dengan Rangga.

‘AADC banget kan, Yu? Kayaknya kali ini aku jodoh deh!’ Ucapnya saat kali pertama menceritakan sosok Rangga padaku, berandai-andai kisah cintanya akan semanis Dian Sastro dan Nicholas Saputra di film mereka pada awal tahun 2000.

‘Kak Rangga cuek cuek cool gitu loh, Yu, tapi aku yakin hatinya baik! Kak Rangga juga kayaknya soleh, rajin sholat, rajin ngaji, tidak sombong, rajin menabung..’

Sementara aku hanya bisa menghela nafas dan mendoakannya dalam hati, soleh kok kayanya.. orang soleh ngga ada yang ngajak pacaran, ta.. ta..

‘Yu, hari ini Kak Rangga....’

‘Yu, masa Kak Rangga...’

Setiap hari, selama hampir dua minggu setelah resmi berpacaran, Cinta selalu bercerita tentang kakak tingkatnya seperti piring kaset yang rusak. Berulang-ulang tanpa jeda, tanpa memberi kesempatan untukku berbicara. Aku kira, patah hatinya yang terakhir akan cukup memberinya waktu untuk tidak membuka hatinya pada orang baru.

‘Namaku aja Cinta, Yu. Sudah pasti anaknya mudah jatuh cinta!’ Tandasnya.

Di minggu terakhir bulan April, Cinta membuka pintu kamar kami tersedu sedu. Cinta putus lagi, kali ini karena dibalik dinginnya sikap Rangga, nyatanya ia terikat dengan dua perempuan dari dua perguruan tinggi yang berbeda.

Jika saja aku tahu sepekan kemudian ia kembali dekat dengan cowok baru, aku tidak perlu repot repot menghiburnya dengan bergelas gelas es cendol yang mangkal di depan kos kami.

Sebab bukan Cinta namanya jika tak mudah jatuh cinta.

Maka selanjutnya, pemuda bermata empat itu bernama Rui. Lahir dari seorang wanita asal Padang, dan pria asal Perancis. Pemilik cafe baru di daerah Senopati. Ia lahir tiga tahun lebih dulu dari Cinta.

Begitu yang kudengar dari ceritanya.

Namun tak lama berselang, Cinta tak lagi membicarakan Rui, pun jika aku yang mulai bertanya. Ketika pada akhirnya ia angkat bicara, ternyata pemuda blasteran itu membawa Cinta ke salah satu klub malam di daerah Jakarta, bahkan sebelum mereka resmi menjalin hubungan.

Kupeluk Cinta erat erat, meredam tangisnya yang akhirnya deras bergulir.

.

‘Kenapa ya, Yu.. Selalu berakhir begini... Kenapa cowok yang deket sama aku ngga ada yang baik..’ ucapnya sewaktu-waktu saat aku sedang terantuk-antuk menyelesaikan tugas desain malam itu.

‘Cintanya udah baik belum?’

‘Bukannya pasangan itu harus saling melengkapi ya, Yu?’ Sahutnya, bersungguh-sungguh. ‘Kalo aku males, ya sama yang rajin. Kalo aku bawel, nanti dapetnya yang cuek.’

‘Iya kalau yang buruk ikut baik, kalau sebaliknya? Allah pasti memasangkan yang baik dengan yang baik, dan sebaliknya, Ta. Jelas kok di Al-Qur’an, makanya dibaca jangan dipajang aja.’

‘Cinta mau ngga dapet jodoh yang soleh, baik hatinya, baik rupanya, cerdas juga, gimana?’ Lanjutku, sementara Cinta meringis lalu mengangguk.

‘Nah, mulai dipake atuh neng, jilbabnya. Belajar yang rajin, supaya bisa punya karir yang tinggi. Insya Allah yang terbaik akan datang pada waktunya, asal Cintanya ngga pacaran terus.’

Cinta mesem-mesem. Lalu beralih ke topik berikutnya.

.

Kurang lebih, sekitar dua bulan setelahnya, satu buah paket berukuran kotak sepatu tersimpan rapi di depan pintu kamar kami. Disambut dengan antusias Cinta yang berseri-seri. Rambut cokelatnya mengembang, seperti senyum di wajahnya.

Ia mendekap paket tersebut, menyunggingkan senyum padaku.

‘Tebak, Yu, dari siapa!’

‘Mamah Lia?’

‘Nope’

‘Bang Fatih?’

‘Ih, Bang Fatih mah inget punya adek aja jarang, gimana mau kasih kado. Salah!’

Aku pun tersenyum simpul mengingatnya. 

‘Siapaa dong?’

‘Kak Faza...’ Disebutnya nama keponakan ibu kos kami yang baru berkunjung beberapa hari yang lalu, kemudian menutup wajahnya yang merona, tak sempat melihatku menghela nafas.

Komentar

  1. Banyakin cerpen yang ngebahas 1 tokoh dong put. Siapa tau jadi novel

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Tahun

4 tahun.  Lama juga, ya. Harusnya, satu tahun ke depan, kamu bakal banyak ngomel ke aku soal dosen pembimbing kamu, sebanyak aku ngeluh ke kamu soal Malang yang semakin macet, bensin mahal dan ngga ada Vivo. Aku juga kebayang kalo kita wisuda bareng. Nanti aku ke Bogor, terus gantian kamu ke Malang. Aku bakal bawa jas supaya kita bisa foto studio disana. Lucu kali, ya. Jadi inget waktu wisuda SMP, waktu aku masih dipelototin ayah kamu, tuh. Aku juga jadi inget waktu kita kelas 12 SMA. Belajar seharian sambil pesen makan. Kamu paling sebel kalo aku udah ketiduran. Terus, kamu bakal manggil mama supaya aku auto bangun dan belajar beneran. Ohiya, mama masih suka ngomongin kamu loh, Lan. Kamu sih, lulus duluan.  Hehe. Ngga banyak yang terjadi dari terakhir kali aku kesini, satu tahun yang lalu. Aku minta maaf ya, Lan, karena jarang pulang. Setelah lulus nanti, aku bakal cari kerja di Bogor, kok. Biar bisa ketemu kamu. Aku juga udah berhenti ngerokok loh, Lan. Pindah vape gapapa, y...

Maybe someday, or next week, I’ll finally forget you.

Because today, I still love you. Maybe it’s not even you anymore, but the version of you I kept safe in my head. Maybe that’s why the feeling still stays like they haven't heard the news. Because I keep thinking. Maybe you were just as lost, and just as hurt. That maybe the only reason we bled was because we didn’t know how else to hold our pain. And so the words we said only sounded like weapons. I keep thinking that someday, you’ll find answers you haven’t yet found the words for. And I once wondered: is it love when we believe in it, or is it love when we accept what it never was? I still don’t know. But I do know this: I still check in on you. Still care about things you won’t share. Still wonder about how your heart is doing today. So maybe not now. Because now, you still live somewhere in me. Even when you’ve long been gone. And maybe not yet. Because there are things I still want to write. Yours, I still want to hold space for. And this one thing I still want to say: I still...

I live alone, but I never feel lonely.

Because for as long as I can remember, he never left me by myself. Not even once. He always made sure to treat me gently, to care for my needs, completely. He never raised his voice. Never dismissed my hand. He took me to beautiful places, and to the ordinary ones that meant just as much. He stayed by my side. And when he couldn’t, he always found his way back to me. He remembered every little thing about me, and made sure I’d always say, “I’m happy.”  He was there. He always was. And I really am happy. But it was me who couldn’t believe he was mine. It was me who couldn’t stop thinking he’d leave someday. So I kept proving myself. Kept trying, hiding, shrinking. I lost myself, trying to prove my love for him. When all I ever needed was to love him back. I brought the wounds I never truly faced, believing that being with him could make everything easier. And it was. But the untreated, unaddressed ache became a heartless resistance, one thing he never, ever deserved. And...